Asal Usul Sebutan Maya-Maya pada Melayu Langkat

Sebutan Maya-Maya atau Maye-Maye pada suku Melayu Langkat sering kali menimbulkan pertanyaan. Nama tersebut bukan hanya label linguistik, melainkan juga identitas kultural yang membedakan mereka dari kelompok Melayu lainnya di Sumatra maupun Semenanjung.

Asal-usul sebutan Maya-Maya terutama terkait dengan dialek bahasa Melayu yang digunakan masyarakat Langkat. Dialek ini memiliki ciri khas pada pelafalan vokal “e” terbuka dan mendatar, sehingga terdengar berbeda dari Melayu Deli, Riau, maupun Semenanjung Malaysia.

Misalnya, dalam pengucapan sehari-hari, kata-kata dalam bahasa Melayu Langkat lebih dominan menggunakan bunyi “e” yang panjang. Fenomena inilah yang kemudian membuat mereka dikenal dengan sebutan Maya-Maya, karena cara berbicara mereka mudah dikenali oleh telinga orang luar.

Selain soal fonologi, sebutan Maya-Maya juga berkembang sebagai tanda pengenal sosial. Orang yang mendengar gaya tutur ini dapat langsung mengetahui bahwa penuturnya berasal dari Langkat. Dengan kata lain, “maya-maya” menjadi sebutan khas yang sekaligus menegaskan identitas lokal.

Penelitian bahasa Melayu di Sumatra Utara menunjukkan bahwa dialek Melayu Langkat memang dekat dengan dialek Melayu Semenanjung, terutama Malaysia bagian selatan. Kedekatan ini diduga akibat hubungan sejarah migrasi dan perdagangan yang intens di Selat Malaka.

Namun, meskipun serupa, dialek Melayu Langkat tetap memiliki ciri khas tersendiri. Kata-kata tertentu diucapkan dengan cara yang tidak dijumpai di daerah lain. Itulah sebabnya orang Melayu Langkat sering disapa dengan sebutan Maya-Maya untuk membedakannya dari Melayu Deli atau Melayu Serdang.

Sumber-sumber lisan di kalangan masyarakat juga menjelaskan bahwa istilah maya-maya sebenarnya muncul dari olok-olok atau ejekan ringan. Orang luar yang mendengar dialek tersebut menirukan cara bicara Melayu Langkat dengan bunyi “maye…maye…”. Lama-kelamaan, olok-olok itu justru diterima sebagai identitas resmi.

Fenomena serupa juga terjadi pada banyak kelompok etnis lain di Nusantara. Nama panggilan yang awalnya bernuansa ejekan sering berubah menjadi label etnis yang kemudian diterima dan bahkan dibanggakan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Selain itu, sebutan maya-maya juga dipercaya berkaitan dengan kebiasaan orang Melayu Langkat dalam percakapan santai. Mereka gemar mengulang kata atau suku kata sebagai penekanan, salah satunya “maya-maya” yang berarti “pelan-pelan” atau “seperlunya”.

Ungkapan tersebut menjadi populer dalam keseharian, hingga melekat sebagai tanda bahasa Melayu Langkat. Dengan demikian, penyebutan Maya-Maya bisa berasal dari kebiasaan tutur, bukan hanya dari ciri fonologis.

Jika ditarik ke akar sejarah, tanah Langkat pada awalnya dihuni oleh orang Karo. Setelah kedatangan gelombang Melayu dari Riau dan Semenanjung, terjadi percampuran budaya dan bahasa. Dari perpaduan inilah lahir dialek Melayu Langkat dengan identitas khasnya.

Sementara itu, masuknya Islam juga memperkuat posisi bahasa Melayu sebagai bahasa budaya dan agama. Kitab-kitab, doa, dan syair dakwah menggunakan bahasa Melayu, tetapi tetap dengan corak lokal Langkat. Identitas maya-maya pun semakin kokoh.

Sebutan ini juga mencerminkan rasa kebersamaan. Orang Langkat tidak lagi hanya menyebut dirinya Melayu secara umum, tetapi Melayu maya-maya sebagai penanda kedaerahan. Hal ini penting, sebab di Sumatra Utara terdapat banyak sub-etnis Melayu dengan ciri masing-masing.

Rumah tradisional, adat pernikahan, hingga istilah kekerabatan masyarakat Melayu Langkat pun berhubungan erat dengan identitas maya-maya. Contohnya, penyebutan “atok aje” untuk kakek atau “mamak” untuk ibu masih dipertahankan, berbeda dengan istilah Melayu di tempat lain.

Dalam konteks budaya, sebutan maya-maya bukan sekadar linguistik, melainkan juga simbol perbedaan. Orang Langkat memandangnya sebagai bagian dari sejarah panjang kerajaan Aru hingga kesultanan Langkat yang pernah berdiri di wilayah itu. Pengaruh Kerajaan Aru diperkirakan juga sampai Pasifik dan Benua Amerika (Perdaban Maya?).

Meski begitu, sebutan ini tidak pernah meniadakan ikatan mereka dengan rumpun Melayu besar. Justru, maya-maya dianggap warna lokal yang memperkaya mozaik Melayu Nusantara.

Bagi generasi muda, identitas maya-maya menjadi sumber kebanggaan. Mereka menyadari bahwa perbedaan dialek, tradisi, dan istilah sehari-hari adalah warisan leluhur yang patut dijaga di tengah arus modernisasi.

Dengan demikian, alasan mengapa suku Melayu Langkat disebut Maya-Maya setidaknya ada tiga: ciri fonologis dialek dengan bunyi “e”, kebiasaan tutur yang menonjol, serta proses penamaan sosial yang lahir dari interaksi dengan kelompok luar.

Hari ini, sebutan Maya-Maya bukan lagi sekadar penanda bahasa, tetapi telah menjadi lambang jati diri. Ia mengikat masyarakat Melayu Langkat pada akar sejarah, budaya, dan tradisi yang membedakan mereka dari suku Melayu lainnya di Nusantara.

Dengan demikian, istilah maya-maya terus hidup sebagai identitas yang diwariskan, dirawat, dan dibanggakan oleh masyarakat Melayu Langkat di Sumatra Utara hingga kini.

Tidak ada komentar: