CERITA Pagi kali ini akan mengajak pembaca untuk mengenal Masjid Syekh Zainal Abidin di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara.
Didirikan tahun 1880, Masjid Syekh Zainal Abidin konon merupakan masjid tertua di Kota Padangsidimpuan. Masjid Syekh Zainal Abidin terletak di Desa Pudun, Kecamatan Batunadua, Kota Padangsidimpuan. Meski bangunannya terlihat tua dan warna catnya sudah sedikit memudar, warga dari dalam maupun luar Kota Padangsidimpuan antusias beribadah di masjid itu.
Masjid Syekh Zainal Abidin memiliki banyak sejarah dan makna. Masjid tersebut dibangun dengan konsep tauhid. Uniknya, bahan dasar pembangunan masjid hanya dari tanah liat, telur ayam, batu, dan tanah kapur. Maklum, pada masa itu belum ada semen atau bahan lainnya seperti yang dipergunakan masyarakat saat ini.
Dikutip dari buku Melacak Jejak Syeikh Zainal Abidin Harahap: Ulama dan Sufi Terkemuka di Tapanuli Bagian Selatan karangan Dr. Zainal Efendi Hasibuan, awalnya Syekh Zainal Abidin Harahap membangun dua surau untuk laki-laki dan dan perempuan.
Bangunan kedua surau itu hanya terbuat dari kayu. Surau-surau tersebut berguna untuk tempat belajar ilmu agama. Karena berkembang pesat, akhirnya Syekh Zainal Abidin Harahap membangun masjid.
Masih dikutip dari buku karangan Zainal Hasibuan, pembangunan masjid itu hanya membutuhkan waktu 24 jam, dengan pekerja lebih 50 orang. Bahkan, saat pembangunan masjid, salah seorang warga sembuh dari penyakit lumpuhnya karena ikut bergotong royong membangun masjid itu.
Masjid ini mempunyai ciri khas tersendiri yaitu tampilan dinding depan bagian atas dibentuk dengan tulisan Bismillahirrahmanirrahim. Artinya, Syekh Zainal Abidin mengajarkan bahwa setiap memulai pekerjaan harus dengan basmalah.
Selanjutnya, pada samping kanan bagian atas dinding masjid tersebut terdapat empat ukiran lafaz "Allah". Artinya, hal tersebut mengajarkan agar seorang hamba harus menyatukan setiap detak jantungnya dan tarikan napasnya disertai lafaz Allah.
Ciri khas lain yang terlihat pada bangunan masjid itu, pada dinding banyak terlihat gambar seperti bunga, bintang bersayap enam yang dihiasi bentuk bundaran dan perisai. Konon, arti dari tanda-tanda tersebut merupakan perjalanan planet, bintang, dan rahasia alam semesta.
Selanjutnya, pada bagian sebelah kiri masjid terdapat tulisan doa iftitah, sedangkan bagian kanan terdapat tulisan Al-Fatihah. Dari tulisan tersebut, menandakan bahwa Syekh Zainal Abidin menganut paham Imam Syafii.
Selain itu, Masjid Syekh Zainal Abidin hanya memiliki satu pintu masuk ke dalam. Ketika membuka pintu, akan terlihat satu pilar masjid sebagai penyangga setiap atap dan sisi masjid.
Bentuk tersebut bermakna konsep tauhid yang baku yakni Allah Maha Esa, tempat bergantung segala manusia dan makhluk. Dia tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang sama dengan zat-zatnya, berdiri sendiri tanpa membutuhkan orang lain.
Parmohonan Harahap (56), salah seorang keturunan Syekh Zainal Abidin mengungkapkan, dahulu, apabila masuk masjid terdapat banyak tulisan. Tulisan dinding dalam tersebut berupa nama 25 rasul Allah.
"Mulai dari dinding kanan tertulis nama Nabi Adam hingga Muhammad SAW. Uniknya, setiap nabi disertai dengan sifat-sifat Allah," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tulisan-tulisan di masjid tersebut mengartikan bahwa pada setiap manusia harus memiliki pemahaman yang baik tentang tauhid, sehingga dia harus paham sifat-sifat kebesaran Allah dan memahami hakikat diutusnya para rasul.
Dalam konsep tersebut dijelaskan, semua nabi mengajarkan agar tidak menyekutukan Allah. "Semua bentuk tulisan mempunyai arti yang berbeda, namun tetap menunjukkan keagungan Allah."
Dia menjelaskan, ciri-ciri lain masjid tersebut bisa dilihat pada bagian kanan. Di bagian itu terbentang lafaz Allah. Sedangkan pada samping kiri, tepatnya di posisi imam tertulis nama Muhammad. Selanjutnya, pada dinding masjid bergambar mihrab masjid tersebut.
Selain itu, tidak jauh dari masjid tersebut, tepatnya di pinggir Sungai Pudun, terdapat tempat salat yang terbuat dari batu namun sudah diukir sehingga mirip sajadah.
"Dahulu, semua lengkap, namun karena tergilas zaman, akhirnya batu mirip sajadah yang sengaja diukir oleh Zainal Abidin tersebut terbelah dua," imbuhnya.
Lantas, siapa Syekh Zainal Abidin Harahap?
Syekh Zainal Abidin Harahap lahir pada 1810 di Pudun Jae, Kecamatan Batunadua, Kota Padangsidimpuan. Ayahnya Sutan Maujalo II dikenal sebagai salah seorang yang taat beragama. Hal itu dibuktikan, pada masa Sutan Maujalo II, kegiatan agama Islam sudah berjalan di desa itu, bahkan beliau merupakan guru tasawuf Naqsabandiyah.
Konon, Syekh Zainal Abidin Harahap pernah merasakan kekecewaan yang berat pada hidupnya. Kekecewaan itu disebabkan dia tidak bisa menjadi juara perlombaan membaca Alquran (MTQ) antar anak raja pada masa itu. Namun, sebagai orang yang beriman, kekalahan itu dijadikan sebagai motivasi agar dia bisa memperdalam ilmu pengetahuannya di bidang agama.
Pada 1825, Zainal Abidin pergi merantau ke Banten. Dia memilih Banten sebagai tempat memperdalam ilmu disebabkan di daerah itu banyak para guru-guru senior dan utama dalam ilmu agama Islam.
Dalam perjalanannya ke Banten, tidak sedikit cobaan yang harus dilalui. Terkadang dia harus merasa kelaparan dan kehausan. Hewan ganas pun terkadang menghalaunya. Namun, itu semua tak jadi penghalang baginya.
"Kekalahan itu membuat dia sangat kecewa, makanya dia pergi merantau ke Banten untuk lebih memperdalam ilmu agamanya," kata Parmohonan.
Setelah tujuh tahun di Banten, Zainal Abidin Harahap melanjutkan pendidikan ke Mekkah. Dia langsung menyeberang ke Selat Malaka. Dari tempat itu, dia langsung berjalan kaki selama dua tahun untuk sampai ke Mekkah.
Dalam perjalanannya, dia sempat menerima sepeda dari salah satu warga kampung yang dia lewati. "Awalnya, setelah sampai di Mekkah, dia menjadi kuli bangunan sembari menuntut ilmu di tempat itu," tutur Parmohonan Harahap kepada KORAN SINDO MEDAN.
"Selama lima tahun di Mekkah, dia sudah mampu menguasai ilmu fikih, tasawuf dan ilmu Alquran," ujarnya.
Pada 1842, Zainal Abidin kembali ke Banten dan menikah dengan Habibah, putri dari gurunya selama menuntut ilmu di Banten.
Syekh Zainal Abidin Harahap pulang ke kampung halamannya pada usia 40 tahun. Syekh Zainal Abidin Harahap meninggal tahun 1903. (sumber)
Didirikan tahun 1880, Masjid Syekh Zainal Abidin konon merupakan masjid tertua di Kota Padangsidimpuan. Masjid Syekh Zainal Abidin terletak di Desa Pudun, Kecamatan Batunadua, Kota Padangsidimpuan. Meski bangunannya terlihat tua dan warna catnya sudah sedikit memudar, warga dari dalam maupun luar Kota Padangsidimpuan antusias beribadah di masjid itu.
Masjid Syekh Zainal Abidin memiliki banyak sejarah dan makna. Masjid tersebut dibangun dengan konsep tauhid. Uniknya, bahan dasar pembangunan masjid hanya dari tanah liat, telur ayam, batu, dan tanah kapur. Maklum, pada masa itu belum ada semen atau bahan lainnya seperti yang dipergunakan masyarakat saat ini.
Dikutip dari buku Melacak Jejak Syeikh Zainal Abidin Harahap: Ulama dan Sufi Terkemuka di Tapanuli Bagian Selatan karangan Dr. Zainal Efendi Hasibuan, awalnya Syekh Zainal Abidin Harahap membangun dua surau untuk laki-laki dan dan perempuan.
Bangunan kedua surau itu hanya terbuat dari kayu. Surau-surau tersebut berguna untuk tempat belajar ilmu agama. Karena berkembang pesat, akhirnya Syekh Zainal Abidin Harahap membangun masjid.
Masih dikutip dari buku karangan Zainal Hasibuan, pembangunan masjid itu hanya membutuhkan waktu 24 jam, dengan pekerja lebih 50 orang. Bahkan, saat pembangunan masjid, salah seorang warga sembuh dari penyakit lumpuhnya karena ikut bergotong royong membangun masjid itu.
Masjid ini mempunyai ciri khas tersendiri yaitu tampilan dinding depan bagian atas dibentuk dengan tulisan Bismillahirrahmanirrahim. Artinya, Syekh Zainal Abidin mengajarkan bahwa setiap memulai pekerjaan harus dengan basmalah.
Selanjutnya, pada samping kanan bagian atas dinding masjid tersebut terdapat empat ukiran lafaz "Allah". Artinya, hal tersebut mengajarkan agar seorang hamba harus menyatukan setiap detak jantungnya dan tarikan napasnya disertai lafaz Allah.
Ciri khas lain yang terlihat pada bangunan masjid itu, pada dinding banyak terlihat gambar seperti bunga, bintang bersayap enam yang dihiasi bentuk bundaran dan perisai. Konon, arti dari tanda-tanda tersebut merupakan perjalanan planet, bintang, dan rahasia alam semesta.
Selanjutnya, pada bagian sebelah kiri masjid terdapat tulisan doa iftitah, sedangkan bagian kanan terdapat tulisan Al-Fatihah. Dari tulisan tersebut, menandakan bahwa Syekh Zainal Abidin menganut paham Imam Syafii.
Selain itu, Masjid Syekh Zainal Abidin hanya memiliki satu pintu masuk ke dalam. Ketika membuka pintu, akan terlihat satu pilar masjid sebagai penyangga setiap atap dan sisi masjid.
Bentuk tersebut bermakna konsep tauhid yang baku yakni Allah Maha Esa, tempat bergantung segala manusia dan makhluk. Dia tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang sama dengan zat-zatnya, berdiri sendiri tanpa membutuhkan orang lain.
Parmohonan Harahap (56), salah seorang keturunan Syekh Zainal Abidin mengungkapkan, dahulu, apabila masuk masjid terdapat banyak tulisan. Tulisan dinding dalam tersebut berupa nama 25 rasul Allah.
"Mulai dari dinding kanan tertulis nama Nabi Adam hingga Muhammad SAW. Uniknya, setiap nabi disertai dengan sifat-sifat Allah," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tulisan-tulisan di masjid tersebut mengartikan bahwa pada setiap manusia harus memiliki pemahaman yang baik tentang tauhid, sehingga dia harus paham sifat-sifat kebesaran Allah dan memahami hakikat diutusnya para rasul.
Dalam konsep tersebut dijelaskan, semua nabi mengajarkan agar tidak menyekutukan Allah. "Semua bentuk tulisan mempunyai arti yang berbeda, namun tetap menunjukkan keagungan Allah."
Dia menjelaskan, ciri-ciri lain masjid tersebut bisa dilihat pada bagian kanan. Di bagian itu terbentang lafaz Allah. Sedangkan pada samping kiri, tepatnya di posisi imam tertulis nama Muhammad. Selanjutnya, pada dinding masjid bergambar mihrab masjid tersebut.
Selain itu, tidak jauh dari masjid tersebut, tepatnya di pinggir Sungai Pudun, terdapat tempat salat yang terbuat dari batu namun sudah diukir sehingga mirip sajadah.
"Dahulu, semua lengkap, namun karena tergilas zaman, akhirnya batu mirip sajadah yang sengaja diukir oleh Zainal Abidin tersebut terbelah dua," imbuhnya.
Lantas, siapa Syekh Zainal Abidin Harahap?
Syekh Zainal Abidin Harahap lahir pada 1810 di Pudun Jae, Kecamatan Batunadua, Kota Padangsidimpuan. Ayahnya Sutan Maujalo II dikenal sebagai salah seorang yang taat beragama. Hal itu dibuktikan, pada masa Sutan Maujalo II, kegiatan agama Islam sudah berjalan di desa itu, bahkan beliau merupakan guru tasawuf Naqsabandiyah.
Konon, Syekh Zainal Abidin Harahap pernah merasakan kekecewaan yang berat pada hidupnya. Kekecewaan itu disebabkan dia tidak bisa menjadi juara perlombaan membaca Alquran (MTQ) antar anak raja pada masa itu. Namun, sebagai orang yang beriman, kekalahan itu dijadikan sebagai motivasi agar dia bisa memperdalam ilmu pengetahuannya di bidang agama.
Pada 1825, Zainal Abidin pergi merantau ke Banten. Dia memilih Banten sebagai tempat memperdalam ilmu disebabkan di daerah itu banyak para guru-guru senior dan utama dalam ilmu agama Islam.
Dalam perjalanannya ke Banten, tidak sedikit cobaan yang harus dilalui. Terkadang dia harus merasa kelaparan dan kehausan. Hewan ganas pun terkadang menghalaunya. Namun, itu semua tak jadi penghalang baginya.
"Kekalahan itu membuat dia sangat kecewa, makanya dia pergi merantau ke Banten untuk lebih memperdalam ilmu agamanya," kata Parmohonan.
Setelah tujuh tahun di Banten, Zainal Abidin Harahap melanjutkan pendidikan ke Mekkah. Dia langsung menyeberang ke Selat Malaka. Dari tempat itu, dia langsung berjalan kaki selama dua tahun untuk sampai ke Mekkah.
Dalam perjalanannya, dia sempat menerima sepeda dari salah satu warga kampung yang dia lewati. "Awalnya, setelah sampai di Mekkah, dia menjadi kuli bangunan sembari menuntut ilmu di tempat itu," tutur Parmohonan Harahap kepada KORAN SINDO MEDAN.
"Selama lima tahun di Mekkah, dia sudah mampu menguasai ilmu fikih, tasawuf dan ilmu Alquran," ujarnya.
Pada 1842, Zainal Abidin kembali ke Banten dan menikah dengan Habibah, putri dari gurunya selama menuntut ilmu di Banten.
Syekh Zainal Abidin Harahap pulang ke kampung halamannya pada usia 40 tahun. Syekh Zainal Abidin Harahap meninggal tahun 1903. (sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar