Jejak penyebaran Islam di wilayah Barumun, khususnya di Kabupaten Padang Lawas, atau Tapanuli bagian selatan, Sumatera Utara, masih kentara sampai saat ini. Islam berkembang seiring keberadaan Kesultanan Aru Barumun di wilayah tersebut.
Awalnya, Kesultanan Aru Barumun yang berpusat di muara Barumun, Labuhan Bilik, Sumatera bagian selatan, mengalami masa kejayaan pada peiode 1459 sampai 1462 di bawah kepemimpinan Sultan Malik Al Mansyur, putra Malik As Saleh dari Kerajaan Pasai.
Setelah dipegang Malik As Saleh, tampuk kepemimpinan Aru Barumum dilanjutkan oleh Sultan Hasan Al Ghaffur. Setelah itu, digantikan oleh Sultan Hamid Al Muktadir.
Di bawah kepemimpinan Sultan Hamid lah serangan hebat datang dari Kesultanan Malaka. Malaka menghancurkan benteng dan armada laut Aru Barumun. Sultan Hamid Al Muktadir pun terdesak sampai ke hulu sungai. Dia tinggal di sana beberapa lama sambil menyebarkan Islam.
Warga Pagaran Bira, Kecamatan Hulu Barumun, Padang Lawas, meyakini Sultan Hamid Al Muktadir dimakamkan di Bukit Barisan yang berjarak sekira satu kilometer dari hulu Sungai Barumun. Di perbukitan tersebut tampak dua makam yang diyakini merupakan suami-istri.
Untuk berziarah ke makam tersebut, warga harus mengambil wudhu dan mengikutsertakan juru kunci atau ulama sekitar. Para penziarah dari berbagai daerah di Sumut sering berziarah ke makam tersebut. Terdapat ukiran di makam sepanjang tiga meter tersebut, seperti tulisan Arab.
Raja Nasution, Raja Pagaran Bira, mengatakan, Sultan Hamid merupakan sosok yang tidak pernah menyerah menyebarkan Islam meski kondisinya saat itu terdesak.
“Dia tetap mengajarkan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dia terus menyiarkan agama Islam dari tempat tersebut hingga akhir hayatnya,” ungkap Raja Nasution.
Perkembangan Islam di Padang Lawas dan Tapanuli bagian selatan diperkuat dengan pengakuan Imam Bonjol yang mengungkapkan telah menemukan agama Tauhid di Tapanuli bagian selatan.
Sultan Hamid juga meninggalkan sebuah masjid di Desa Pagaran Bira. Masjid tersebut dialiri air jernih yang datang dari kaki Bukit Barisan. Beduk masjid yang berumur ratusan tahun juga masih terlihat kokoh.
Beberapa riwayat menyebut, tentara Belanda pernah berupaya menghancurkan makam Sultan Hamid. Namun saat memasuki pintu kawasan makam, komandan pasukan Belanda tiba-tiba sakit perut. Saat dibawa ke perkampungan sang komandan tewas.
Belanda naksir dengan alam di kawasan Tapanuli bagian selatan karena menghasilkan rempah-rempah. Sampai pada saat ini, warga di sana masih bercocok tanam rempah kulit manis.
Sekda Kabupaten Padang Lawas, Irfan Hasibuan, mengatakan, berbagai teori terkaitnya masuknya Islam ke Padang Lawas masih perlu pengkajian mendalam. Namun situs sejarah makam suci di perbukirtan Pagaran Bira atau dikenal makam Jiret Bertuah setidaknya membuktikan Islam pernah berkembang di sana.
Di Tapanuli bagian selatan terdapat empat kabupaten dan kota, yakni Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, Kota Padangsidempuan, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. (sumber)
Napak Tilas
Napak tilas perkembangan Islam di Barumun, khususnya di Kabupaten Padang Lawas atau Tapanuli bagian Selatan, Sumatera Utara, cukup menarik. Sepanjang hulu Sungai Barumun hingga ke daerah pertemuran Sungai Barumun-Pane merupakan makam keramat Jiret Mertuah.
Situs makam keramat Jiret Mertuah oleh peneliti disebut dengan nama Pageran Bira. Lokasinya di Desa Pageran Bira Jae, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas.
Untuk menuju situs Pageran Bira dari Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara ke arah Padang Lawas, Kota Sibuhuan menempuh jarak 73 kilometer. Kemudian mengambil arah ke kanan atau barat sejauh 18 kilometer melewati Kecamatan Barumun, Ulu Barumun, dan Sosopan. Setelah itu, sampai di Desa Pageran Bira Jae.
Memasuki Pageran Bira Jae kita akan terlebih dulu bertemu dengan Masjid Nurul Imam yang diyakini warga sebagai peninggalan sejarah dari Sultan Hamid Al Muktadir.
Di Masjid Nurul Imam kita juga akan menemukan air yang sangat jernih dan dingin. Air yang berasal dari Bukit Barisan itu digunakan warga untuk wudhu.
Selain itu tampak juga beduk masjid yang berusia ratusan tahun masih utuh. Tiang masjid masih kokoh. Bagian interiornya pun masih original belum pernah diubah.
Dari Desa Pageran Bira Jae, perjalanan dilanjutkan ke makan keramat Jiret Mertuah melewati jalan setapak sekira 200 meter.
Pengakuan warga, bila ingin ke makam tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan, seperti mengambil wudhu dan mengikutsertakan juru kunci atau para ulama setempat. Bila tidak, pengunjung akan tertolak keluar dan mengalami keanehan.
Situs makam keramat itu berada di tengah kebun kopi. Jaraknya sekira 100 meter arah barat laut dari Sungai Sorimangampu yang mengalir dari barat daya ke timur laut.
Di situs itu terdapat dua makam yang diyakini penduduk tempat beristirahatnya pasangan suami-istri.
Hal yang menarik pada situs itu adalah makam kuno yang dibangun di atas bekas candi. Batu-batu candi yang terdapat pada situs itu berjenis andesit dan berbentuk umpak, yoni, kemuncak candi, atau kemuncak pagar langkan.
Makam pertama adalah makam sang suami yang berada di atas tumpukan batu candi dan batu kali dengan ukuran 4,4x1 meter persegi. Nisan pada makam itu berupa kemuncak candi. Di bagian kepala dan kaki terdapat stupa.
Makam kedua, nisan di bagian kepala berbentuk kemuncak candi yang berada di atas lapik batu. Sedangkan nisan di bagian kaki berupa lempengan batu candi berbentuk persegi empat.
Tokoh yang dimakamkan itu dipercaya sebagai penyebar Islam di Tapanuli bagian selatan.
Pada periode 1459 sampai 1462, Kesultanan Aru Barumun yang terletak di muara Barumun, Labuhan Bilik, Sumatera bagian selatan, mengalami masa kejayaan.
Di bawah pimpinan Sultan Malik Al Mansyur putra Malik As Saleh dari Kerajaan Pasai kemudian digantikan Sultan Hasan Al Ghaffur. Setelah itu digantikan Sultan Hamid Al Muktadir. Namun serangan hebat dari Kesultanan Malaka menghancurkan benteng dan armada laut Kesultanan Aru Barumun. Sultan Hamid pun terdesak sampai ke hulu Sungai Barumun.
Warga Pagaran Bira, Kecamatan Hulu Barumun, Padang Lawas, meyakini Sultan Hamid wafat di Bukit Barisan tersebut yang berjarak sekira satu kilometer dari hulu Sungai Barumun.
Raja Nasution, Raja Pagaran Bira, mengatakan, riwayat warga secara turun temurun pemilik makam adalah tokoh besar dari muara Aru Barumun. Peperangan terjadi karena perbedaan pandangan dalam Islam.
Meski terdesak di hulu Sungai Barumun Sultan Hamid tidak berhenti menyiarkan Islam. Ia tetap berdakwah hingga akhir hayatnya dan wafat di tempat tersebut. (sumber)
Awalnya, Kesultanan Aru Barumun yang berpusat di muara Barumun, Labuhan Bilik, Sumatera bagian selatan, mengalami masa kejayaan pada peiode 1459 sampai 1462 di bawah kepemimpinan Sultan Malik Al Mansyur, putra Malik As Saleh dari Kerajaan Pasai.
Setelah dipegang Malik As Saleh, tampuk kepemimpinan Aru Barumum dilanjutkan oleh Sultan Hasan Al Ghaffur. Setelah itu, digantikan oleh Sultan Hamid Al Muktadir.
Di bawah kepemimpinan Sultan Hamid lah serangan hebat datang dari Kesultanan Malaka. Malaka menghancurkan benteng dan armada laut Aru Barumun. Sultan Hamid Al Muktadir pun terdesak sampai ke hulu sungai. Dia tinggal di sana beberapa lama sambil menyebarkan Islam.
Warga Pagaran Bira, Kecamatan Hulu Barumun, Padang Lawas, meyakini Sultan Hamid Al Muktadir dimakamkan di Bukit Barisan yang berjarak sekira satu kilometer dari hulu Sungai Barumun. Di perbukitan tersebut tampak dua makam yang diyakini merupakan suami-istri.
Untuk berziarah ke makam tersebut, warga harus mengambil wudhu dan mengikutsertakan juru kunci atau ulama sekitar. Para penziarah dari berbagai daerah di Sumut sering berziarah ke makam tersebut. Terdapat ukiran di makam sepanjang tiga meter tersebut, seperti tulisan Arab.
Raja Nasution, Raja Pagaran Bira, mengatakan, Sultan Hamid merupakan sosok yang tidak pernah menyerah menyebarkan Islam meski kondisinya saat itu terdesak.
“Dia tetap mengajarkan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dia terus menyiarkan agama Islam dari tempat tersebut hingga akhir hayatnya,” ungkap Raja Nasution.
Perkembangan Islam di Padang Lawas dan Tapanuli bagian selatan diperkuat dengan pengakuan Imam Bonjol yang mengungkapkan telah menemukan agama Tauhid di Tapanuli bagian selatan.
Sultan Hamid juga meninggalkan sebuah masjid di Desa Pagaran Bira. Masjid tersebut dialiri air jernih yang datang dari kaki Bukit Barisan. Beduk masjid yang berumur ratusan tahun juga masih terlihat kokoh.
Beberapa riwayat menyebut, tentara Belanda pernah berupaya menghancurkan makam Sultan Hamid. Namun saat memasuki pintu kawasan makam, komandan pasukan Belanda tiba-tiba sakit perut. Saat dibawa ke perkampungan sang komandan tewas.
Belanda naksir dengan alam di kawasan Tapanuli bagian selatan karena menghasilkan rempah-rempah. Sampai pada saat ini, warga di sana masih bercocok tanam rempah kulit manis.
Sekda Kabupaten Padang Lawas, Irfan Hasibuan, mengatakan, berbagai teori terkaitnya masuknya Islam ke Padang Lawas masih perlu pengkajian mendalam. Namun situs sejarah makam suci di perbukirtan Pagaran Bira atau dikenal makam Jiret Bertuah setidaknya membuktikan Islam pernah berkembang di sana.
Di Tapanuli bagian selatan terdapat empat kabupaten dan kota, yakni Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, Kota Padangsidempuan, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. (sumber)
Napak Tilas
Napak tilas perkembangan Islam di Barumun, khususnya di Kabupaten Padang Lawas atau Tapanuli bagian Selatan, Sumatera Utara, cukup menarik. Sepanjang hulu Sungai Barumun hingga ke daerah pertemuran Sungai Barumun-Pane merupakan makam keramat Jiret Mertuah.
Situs makam keramat Jiret Mertuah oleh peneliti disebut dengan nama Pageran Bira. Lokasinya di Desa Pageran Bira Jae, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas.
Untuk menuju situs Pageran Bira dari Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara ke arah Padang Lawas, Kota Sibuhuan menempuh jarak 73 kilometer. Kemudian mengambil arah ke kanan atau barat sejauh 18 kilometer melewati Kecamatan Barumun, Ulu Barumun, dan Sosopan. Setelah itu, sampai di Desa Pageran Bira Jae.
Memasuki Pageran Bira Jae kita akan terlebih dulu bertemu dengan Masjid Nurul Imam yang diyakini warga sebagai peninggalan sejarah dari Sultan Hamid Al Muktadir.
Di Masjid Nurul Imam kita juga akan menemukan air yang sangat jernih dan dingin. Air yang berasal dari Bukit Barisan itu digunakan warga untuk wudhu.
Selain itu tampak juga beduk masjid yang berusia ratusan tahun masih utuh. Tiang masjid masih kokoh. Bagian interiornya pun masih original belum pernah diubah.
Dari Desa Pageran Bira Jae, perjalanan dilanjutkan ke makan keramat Jiret Mertuah melewati jalan setapak sekira 200 meter.
Pengakuan warga, bila ingin ke makam tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan, seperti mengambil wudhu dan mengikutsertakan juru kunci atau para ulama setempat. Bila tidak, pengunjung akan tertolak keluar dan mengalami keanehan.
Situs makam keramat itu berada di tengah kebun kopi. Jaraknya sekira 100 meter arah barat laut dari Sungai Sorimangampu yang mengalir dari barat daya ke timur laut.
Di situs itu terdapat dua makam yang diyakini penduduk tempat beristirahatnya pasangan suami-istri.
Hal yang menarik pada situs itu adalah makam kuno yang dibangun di atas bekas candi. Batu-batu candi yang terdapat pada situs itu berjenis andesit dan berbentuk umpak, yoni, kemuncak candi, atau kemuncak pagar langkan.
Makam pertama adalah makam sang suami yang berada di atas tumpukan batu candi dan batu kali dengan ukuran 4,4x1 meter persegi. Nisan pada makam itu berupa kemuncak candi. Di bagian kepala dan kaki terdapat stupa.
Makam kedua, nisan di bagian kepala berbentuk kemuncak candi yang berada di atas lapik batu. Sedangkan nisan di bagian kaki berupa lempengan batu candi berbentuk persegi empat.
Tokoh yang dimakamkan itu dipercaya sebagai penyebar Islam di Tapanuli bagian selatan.
Pada periode 1459 sampai 1462, Kesultanan Aru Barumun yang terletak di muara Barumun, Labuhan Bilik, Sumatera bagian selatan, mengalami masa kejayaan.
Di bawah pimpinan Sultan Malik Al Mansyur putra Malik As Saleh dari Kerajaan Pasai kemudian digantikan Sultan Hasan Al Ghaffur. Setelah itu digantikan Sultan Hamid Al Muktadir. Namun serangan hebat dari Kesultanan Malaka menghancurkan benteng dan armada laut Kesultanan Aru Barumun. Sultan Hamid pun terdesak sampai ke hulu Sungai Barumun.
Warga Pagaran Bira, Kecamatan Hulu Barumun, Padang Lawas, meyakini Sultan Hamid wafat di Bukit Barisan tersebut yang berjarak sekira satu kilometer dari hulu Sungai Barumun.
Raja Nasution, Raja Pagaran Bira, mengatakan, riwayat warga secara turun temurun pemilik makam adalah tokoh besar dari muara Aru Barumun. Peperangan terjadi karena perbedaan pandangan dalam Islam.
Meski terdesak di hulu Sungai Barumun Sultan Hamid tidak berhenti menyiarkan Islam. Ia tetap berdakwah hingga akhir hayatnya dan wafat di tempat tersebut. (sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar