Konflik berkepanjangan di Myanmar bukan hanya menelan korban jiwa dan memecah belah etnis-etnis di dalam negeri, namun juga mulai memperlihatkan dampak yang lebih luas bagi keamanan kawasan Asia. Dalam situasi di mana negara-negara besar tengah sibuk dengan konflik global, ketidakstabilan di Myanmar terus dimanfaatkan oleh berbagai kelompok bersenjata untuk memperluas pengaruh dan kekuatan militernya. Salah satu hal paling mencolok dalam perkembangan konflik ini adalah kemampuan kelompok pemberontak dan proto-negara di Myanmar memproduksi senjata secara mandiri.
Di sejumlah desa di Sagaing Region, warga sipil yang mendukung perlawanan terhadap junta militer mengubah rumah dan bengkel sederhana menjadi pabrik senjata rakitan. Mulai dari mortir 60 mm hingga senjata ringan seperti pistol dan sub-machine gun kaliber 9 mm diproduksi tanpa henti. Keterampilan teknis yang diperoleh dari pengalaman kerja dan pembelajaran mandiri di internet menjadi modal utama para teknisi senjata ini.
Situasi ini menjadi ancaman nyata bagi kawasan, mengingat wilayah Myanmar yang berbatasan langsung dengan India, Bangladesh, Laos, dan Tiongkok. Jalur penyelundupan yang selama ini digunakan untuk narkotika dan kayu ilegal kini beralih menjadi jalur distribusi senjata. Kondisi ini diperburuk dengan masuknya senjata-senjata buatan Myanmar ke tangan komunitas bersenjata lintas negara, seperti kelompok bersenjata etnis Kuki di India.
Kelompok Kuki, yang sebagian anggotanya tergolong komunitas Bnei Menashe dan pernah bertugas di militer Israel, diketahui memiliki keterampilan tempur dan akses terhadap jaringan persenjataan ilegal. Beberapa unggahan di media sosial menunjukkan Kuki bersenjata lengkap dengan peralatan militer modern, diduga berasal dari Myanmar. Hubungan lama antara kelompok perlawanan di Manipur, India, dengan kelompok bersenjata Myanmar membuat aliran senjata ini sulit diputus.
Senjata-senjata produksi lokal Myanmar yang kian canggih mulai dipasok ke daerah-daerah konflik lain. Wilayah Manipur di India yang tengah bergejolak akibat ketegangan antara etnis Kuki dan Meitei berpotensi menjadi lokasi konflik bersenjata berkepanjangan, jika peredaran senjata dari Myanmar tidak segera dihentikan. Saat ini, Kuki di Manipur banyak memiliki senjata canggih yang tak hanya didapat dari pasar gelap India, tapi juga dari Myanmar.
Jika kondisi ini dibiarkan tanpa mitigasi, efek domino konflik Myanmar bisa merembet ke kawasan lain di Asia Tenggara. Filipina Selatan, Thailand, dan Laos, yang memiliki komunitas minoritas bersenjata, berpotensi memanfaatkan jalur senjata ilegal ini untuk memperkuat kekuatan kelompok separatis. Apalagi, wilayah perbatasan yang luas dan minim pengawasan memudahkan proses penyelundupan.
Dalam beberapa laporan intelijen regional, keberadaan pabrik-pabrik senjata kecil di Myanmar telah dipetakan sebagai ancaman lintas negara. Meski pemerintah junta dan kelompok perlawanan sama-sama memproduksi senjata, skala produksi kelompok perlawanan terus bertambah, seiring bertambahnya simpatisan dan jalur suplai logistik yang terbentuk selama perang sipil.
Di Myanmar sendiri, pertempuran yang kian brutal mendorong kelompok-kelompok lokal mengembangkan senjata buatan sendiri, mulai dari senapan laras panjang, landmine hingga mortir ringan. Keberhasilan produksi ini memicu kompetisi antar wilayah dalam memperluas lini produksi dan mencari pasar gelap di luar perbatasan.
Di perbatasan India-Myanmar, kelompok-kelompok bersenjata etnis seperti Kachin Independence Army (KIA) menjadi pemasok utama senjata otomatis seperti K-09, replika AK-56. Senjata buatan KIA terbukti banyak digunakan di perbatasan Tamu dan Sagaing. Kondisi ini memudahkan kelompok-kelompok bersenjata India mendapatkan suplai senjata tanpa melalui jalur resmi.
Sementara itu, pemerintahan paralel Myanmar, National Unity Government (NUG), berupaya memasok senjata bagi kelompok-kelompok perlawanan di berbagai daerah, meski logistik kerap terkendala keamanan jalur darat dan udara. Beberapa jalur penyelundupan bahkan melibatkan pebisnis lokal, aparat berpangkat rendah, dan sindikat lintas negara.
Pemerintah India sendiri mulai mengkhawatirkan efek limpahan konflik Myanmar ke wilayah timur lautnya. Penambahan pasukan dan operasi kontra-penyelundupan di wilayah Manipur dan Nagaland telah ditingkatkan, namun aliran senjata tetap terjadi lewat jalur ilegal dan kerja sama antar kelompok etnis bersenjata.
Jika ketegangan ini tidak segera ditangani melalui diplomasi regional dan penguatan kontrol perbatasan, Myanmar berpotensi menjadi episentrum baru penyelundupan senjata di Asia. Negara-negara ASEAN, India, dan Tiongkok diprediksi akan merasakan dampak buruknya dalam beberapa tahun ke depan.
Krisis politik Myanmar yang dibiarkan berlarut tanpa solusi permanen akan menciptakan lebih banyak kelompok bersenjata, lebih banyak jalur ilegal, dan lebih banyak daerah rawan konflik. Jalur senjata Myanmar diperkirakan tak hanya mengalir ke kawasan Asia Tenggara, tetapi bisa merambah hingga ke Asia Selatan dan Timur Tengah.
Skenario terburuknya, konflik Myanmar menjadi pemicu lahirnya pasar gelap senjata baru di Asia, mirip yang terjadi di Libya pasca-2011. Apalagi, banyaknya kelompok perlawanan di Myanmar yang memiliki agenda politik etnis, membuat eskalasi ini kian sulit diprediksi.
Pemerintah negara-negara tetangga Myanmar diharapkan segera bersatu dalam mengantisipasi aliran senjata ini. Tanpa langkah tegas, konflik internal Myanmar akan menjadi ancaman regional yang sewaktu-waktu bisa meletus di wilayah-wilayah perbatasan Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar